Saksi Hidup Sebuah Tragedi Tsunami
Minggu, 21 Februari 2016
LIKE US

Saksi Hidup Sebuah Tragedi Tsunami

 
Saksi-Hidup-Sebuah-Tragedi-Tsunami

 

 

Aku: Saksi Hidup Sebuah Tragedi (Tsunami)

by Farah

Fa mengingat semuanya dengan sangat jelas. Seolah kejadian ini baru terjadi kemarin. Meski sulit dipercaya, yakinlah bahwa semua yg fa kisahkan ini nyata. Dan memang begitu adanya....

Minggu pagi, 26 Desember 2004. Minggu yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Minggu yang seharusnya sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Nyatanya, tidak. Sekitar pukul 8 pagi, bumi bergejolak. Sontak penghuni setiap rumah keluar mencari perlindungan. Termasuk keluarga Fa. Saat kejadian, di rumah (rumah Fa deket dengan rumah Icha dan Rika, daerah Jeulingke) Fa tinggal dengan adik, nenek, kakak sepupu, dan om yang baru 2 hari dateng dari lhokseumawe. Sementara papa, yang profesinya dosen, lagi ngajar di Fak. Ekonomi Unsyiah.
Gempa di hari itu adalah gempa terbesar yang pernah Fa alami sepanjang hidup. Guncangannya ibarat kita naik ayunan. Demi menyelamatkan diri, kami semua termasuk para tetangga duduk di jalanan depan rumah. Suasana panik. Mahasiswi yang tinggal di kost-an depan rumah terisak diselingi doa terbata-bata. Nenek Fa berusaha untuk menentramkan mereka. Sementara Fa cuma ngelihat sekitar sambil bibir melontarkan zikir tanpa putus. Tapi waktu itu Fa engga merasa terlalu takut. Yang ada di pikiran Fa cuma ujian Akuntansi dan Agama besok dan nonton Peterpan di MTV Asia Awards malamnya. Siapa sangka, ujian itu tidak akan pernah ada.
Begitu gempa berhenti, Fa dan sepupu masuk ke dalam rumah. Menunjuk sikat gigi di kamar mandi yang berhamburan. Terheran-heran dengan meja komputer yang berpindah sendiri. Menertawakan tampang kumal satu sama lain. Akhirnya, kami keluar lagi. Papa pulang. Dengan alasan khawatir keselamatan kami semua. Lantas papa masuk ke dalam rumah. Dan yang Fa lakukan adalah mengobrol dengan orang-orang-yang-bertampang-pucat-pasi di sekitar Fa. Dari rumah Fa bisa kelihatan jalan yang menuju jembatan Krueng raya. Suasana saat itu riuh, banyak sepeda motor yang lalu lalang. Sekarang fa sadar bahwa itu bisa saja orang-orang yang lebih dulu tau ada yang tidak beres. Hanya saja, tak ada satu pun dari kami yang otaknya sedang dalam keadaan rasional untuk menyadari itu.
Dan tragedi dimulai.
Anak tetangga sebelah rumah berteriak. Tangannya menunjuk ke arah sungai Krueng raya yang letaknya cuma beberapa meter dari rumah tempat Fa berdiri. Semua orang menoleh ke titik yang sama. Bergeming. Hati Fa mencelos. Ini tak masuk akal. Bagaimana bisa sungai Krueng raya yang berada jauh di bawah permukaan tiba-tiba airnya setinggi jembatan? Dan bagaimana bisa sekarang air itu merangkak naik ke jalan raya?! Walau setengah hati Fa merasa ini mustahil, toh Fa berteriak juga. Kengerian dan panik tak terkira-kira bergumpal dalam tenggorokan, sehingga yang ada hanya teriakan tertahan yang tidak mampu keluar dari mulut Fa. Kami semua berteriak memanggil papa yang tak kunjung keluar. Orang di belakang Fa memanggil sanaknya yang lain. Malah beberapa yang lain bersalaman, memeluk satu sama lain, dan meminta maaf. Seolah ingin memastikan memberi salam perpisahan yang layak andai tak akan ada lagi pertemuan berikutnya. Sampai akhirnya, om Fa masuk ke dalam.
Papa, fava, adik, sepupu, dan nenek melarikan diri naik mobil sementara om naik sepeda motor. Tujuannya satu : Mesjid Raya Baiturrahman. Jarak yang jauh. Di dalam mobil, doa tidak lagi diucapkan dengan berbisik tapi selantang-lantangnya. Kakak sepupu Fa mulai histeris. Fa terpana ngeri sambil mengelus bahu kakak sepupu dengan gugup, yakin tampang Fa pastilah sepucat hantu. Papa berusaha meneriakkan peringatan ke orang di rumah yang kami lewati,” Air naik...air laut naik..!”
Yang dilakukan semua orang hanya terdiam. Terbengong-bengong dan saling menatap satu sama lain. Mungkin berpikir kegilaan massal macam apa yang sedang terjadi. Mereka tidak bisa disalahkan. Bahkan teriakan ”air laut naik” itu terdengar janggal di telinga Fa.
Keluar dari daerah perumahan, persis di daerah pertokoan pinggir jalan Jeulingke, jalanan penuh. Entah karena dorongan apa, Fa menoleh ke belakang (ke arah sungai krueng raya). Dan yang Fa saksikan adalah pemandangan yang menghantui Fa di mimpi malam-malam berikutnya. Itu ombak laut! Dengan tinggi mencengangkan, melampaui atap tingkat 2 pertokoan. Persis adegan film The Day After Tomorrow yang Fa tonton di TV jumat malam sebelumnya. Ombak itu merangsek maju, menelan bulat-bulat yang menghalangi jalannya. Sementara di hadapan fa terhampar pemandangan paling melukai hati. Anak-anak meraung, tak mengerti apa yang terjadi namun risau melihat orang tua mereka berteriak putus asa. Yang lainnya lari membabi buta. Tertabrak di sana sini, terhimpit dengan kendaraan tapi jeritan mereka ditenggelamkan bunyi klakson. Sementara di kepala Fa hanya ada satu pertanyaan, ”Inikah kiamat?”
Baru mencapai daerah Peurada (sebelum kompleks Asrama haji) jalanan membludak. Rupanya ombak bukan hanya dari arah belakang mobil Fa. Tapi ada di depan sebelah kanan (ombak dari daerah Tibang). Kami terkepung. Ombak laut itu memilih jalurnya sendiri. Saat itu juga, papa memberi komando untuk keluar dari mobil.
Papa, Fava, dan fandi berpegangan bertiga. Sementara nenek, om, dan sepupu fa saling bergandengan.
Ombak pertama datang. Tingginya sepinggang Fa. Fa berusaha lari, tapi tersandung sepeda motor yang tergeletak, tak terlihat di bawah air. Kami bertiga masih berpegangan. Tiba ombak kedua yang jauh lebih tinggi dan deras. Pegangan kami terlepas. Fa berteriak, ”Paaappaaaa..!!”
Cuma itu kata terakhir yang meluncur dari bibir Fa. Terdengar melengking dan memilukan. Terdengar asing di telinga seolah suara itu diteriakkan oleh orang lain.
Adegan berikutnya adalah Fa terombang-ambing sendirian. Kacamata fa terlepas akibat deras ombak. Fa menelan sedikit air laut yang hitam, asin, dan panas itu. Anehnya, Fa tetap mengapung. Meski Fa sama sekali tidak mempertahankan diri. Itu karena Fa tidak bisa berenang dan mata dengan minus 5 jelas tak banyak membantu. Di bagian diri Fa yang lain masih mengganggap ini mimpi.
Sambil diseret ombak, Fa memandang sekeliling dan mengalami deja vu. Dengan cara apa Fa akan mati? Sakitkah saat nyawa tercabut? Kenapa Fa tak kunjung terjaga dan mendapati Fa yang sebenarnya sedang meringkuk di kasur yang nyaman? Fa bahkan merasa menginjak sesuatu yang berambut. Fa gemetar, mengingat bisa saja itu kepala manusia.
Mendadak, Fa berhenti. Fa berada setinggi atap tingkat satu. Fa terdiam sesaat dan detik berikutnya, Fa cuma bisa melenguhkan satu kata yang melintas di kepala.
”Paapaa...”
Fa benar-benar takut. Takut kalau-kalau panggilan itu tidak mendapat jawaban. Apa yang bisa Fa lakukan di dunia tanpa ada papa?
Ternyata, papa menjawab. Engga jauh dari tempat fa.
”Kakak, adek mana?”
”Engga tau,” Fa merintih sambil memandangi wajah papa yang kelabu disaput lumpur.
Sekonyong-konyong muncul sebuah sahutan.
”Adek di sini...”
Fandi tersangkut tak jauh dari Fa. Ujung atap seng yang tajam hanya beberapa centimeter dari kepalanya, berkilat mengancam nyawa.
Kami bertiga terjebak tanpa mampu bergerak. Yang tampak dari kami cuma tubuh bagian atas. Mata Fa menangkap sosok Om Fa yang berjuang membebaskan diri. Berhasil. Segera Om membantu papa disusul Fa dan Fandi. Mendadak Fa terpekik. Di sebelah Fa ada tembok dengan celah berlubang. Itu ventilasi rumah. Dengan tangan terjulur dari lubangnya. Mengepak-ngepak air laut.
Mungkin saja mata seseorang di dalam sana menangkap sosok om Fa karena kemudian terdengar suara perempuan mengiba.
”Bang, tolong saya...”
Ratapan itu diulang terus menerus. Semakin lemah di tiap kalimatnya. Sementara, Om Fa cuma bisa bilang, ”Sabar ya , Dek...Saya bantu keponakan saya dulu.”
Ya Allah, jelas itu sekedar harapan semu. Penghiburan omong kosong. Tidak ada cara untuk menolong sang perempuan kecuali tembok disana lenyap secara ajaib. Lama kelamaan, tangan itu hilang. Fa membuang muka, mendoakan siapapun dia dan apapun nasibnya. Hati Fa menangis.
Melepaskan fa dan fandi dari jebakan ternyata sulit. Kayu panjang yang menghimpit kaki kanan Fa di satu ujungnya, menekan perut Fandi di ujungnya yang lain. Jadi, setiap kayu itu diangkat untuk membebaskan kaki Fa, Fandi akan mengaduh kesakitan. Entah bagaimana caranya, kami selamat. Bersama, kami duduk di atas atap seng tingkat pertama. Tapi ini belum selesai! Ada 2 orang keluarga Fa lagi yang hilang, tak diketahui nasibnya.
”Kak Nisa dimana?” tanya Om ke Fava.
Selama berlari saat dikejar ombak, mata Fa sama sekali tidak terpancang ke kakak sepupu Fa. Tapi, entah indera abnormal apa yang Fa punya dan entah mendapat petunjuk dari mana, dengan refleks Fa menunjuk ke satu arah yang agak jauh. Tanpa membuang waktu, Om ke sana dan ternyata benar. Kakak sepupu Fa ada disana. Terkepung sampah dan wajah dibanjiri air mata, tapi selain itu dia baik-baik saja.
Kakak sepupu Fa bergabung di atas atap seng. Wajah kotor, tubuh berlumpur, pakaian yang sobek, dan rambut kaku. Kami semua adalah potret mengenaskan boneka monster yang terjatuh di kubangan. Di kepala kakak sepupu Fa ada kecoa, terselip di antara rambut panjangnya yang mencuat tak tentu arah. Fa memandangi si kecoa. Fa sudah mengalami puncak kengerian dan maha keseraman sepanjang hidup. Saat itu tidak ada waktu bagi ketakutan pada hal remeh, jadi fa ambil dan fa buang kecoa itu (sesuatu yang engga akan fa lakukan dalam keadaan waras).
Fa merasa sakit di kaki kanan, ada luka tergores yang cukup dalam dan berdarah. Punggung dan paha fa ikut berdenyut. Fa menutup luka di pergelangan kaki kanan itu dengan tangan sembari menangis karena sakit sekaligus tersadar. Bahwa ini bukan mimpi. Rasa perih ini membuat segalanya terasa nyata.
Di atas atap seng tingkat kedua, ada seorang lelaki dengan kepala masih memakai helm. Usianya skitar 30-an. Dia menyarankan kami sekeluarga untuk naik ke atas atap tingkat kedua. Permukaan air semakin naik.
Akhirnya, kami sekeluarga duduk berjejer di atas atap seng yang berbentuk segitiga. Posisi kami seolah sedang bermain kereta api. Jangan tanyakan bagaimana caranya naik ke atas. Fa sendiri engga tau.
Waktu itu pastilah sekitar pukul 12 siang. Matahari tepat berada di atas kepala. Membakar tengkuk dan ubun-ubun. Kami jauh di atas permukaan tanah, mendekat ke matahari. Posisi yang tidak menguntungkan. Terlebih atap yang terbuat dari seng. Papa sampai harus membuka bajunya untuk mengalasi kaki fandi yang kepanasan. Gempa masih terus mengguncang. Ini adalah ujung tanduk dan kami adalah telurnya.
Om masih terus mencari nenek. Fa mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah di belakang kami penuh dengan orang-orang membaca Yasin di teras lantai 2 yang luas. Suara yang menenangkan. Di arah kiri Fa ada ibu yang duduk di dahan pohon yang tingginya tidak seberapa. Ada anak kucing yang tertidur di atas papan kayu.
Ketika air agak surut, kakak sepupu Fa turun lagi ke atap tingkat pertama. Duduk dengan seorang perempuan. Dengan mata kepalanya sendiri, kakak sepupu fa melihat sesosok jenazah melintas. Tubuh jenazah itu miring sehingga yang tampak hanya punggungnya. Yang membuat kakak Fa tidak melepaskan pandangannya adalah karena di atas tubuh jenazah itu ada seekor bebek.
Memperhatikan lebih seksama, kerudung dan baju yang melekat, sepupu Fa menjerit.
”Om, itu nenek!” teriak sepupu Fa ke Papa.
Karena posisi memunggungi, kami menolehkan kepala ke belakang.
”Nenek gimana?”
”Nenek udah engga ada, om...”
Kami, anak beranak ini, bertangis-tangisan di atas atap. Sekejap yang lalu kami tertawa bercanda, sekarang orang yang kami cintai berpulang ke hadirat Yang Kuasa.
Om segera menjangkau jenazah nenek. Air surut setinggi pinggang. Kami pun turun dan menuju mesjid peurada yang terdekat.
Mesjid dijejali begitu banyak orang, yang bertahan hidup dan yang dijemput maut.
Di sebelah keluarga Fa, ada keluarga lainnya yang mengelilingi jenazah anak kecil dengan usia sekitar 2-3 thn. Sang kakak meratap-ratap di sebelahnya.
Mata itu tertutup menghalangi sinar jenaka di baliknya. Bibir itu pastilah pernah mengeluarkan ocehan lucu, meski sekarang bibir itu membiru. Bocah itu tentulah bertingkah menggemaskan selalu, meski sekarang tubuhnya terbujur kaku. Terlampau menyakitkan. Fa menutup muka menghalangi potret keluarga mereka.
Akhirnya, fa dan keluarga mengungsi ke daerah Ie Masen (deket rumah Ave). Berjalan kaki dengan pakaian robek. Daerah itu tak teersentuh tsunami. Tentram tanpa cela. Bahkan orang-orang disana mengira kami adalah korban kecelakaan.
Hari Jumat, fa dan fandi diungsikan ke lhokseumawe. Fa sekolah di sana selama 1 semester. Fa menangis tanpa henti, sama sekali tak tahu kabar anak Tibet yang lain, terutama Icha dan Rika. Sampai akhirnya, Fa ketemu dengan Fany di lhokseumawe, memberi berita sodari-sodari Fa itu selamat. Tapi, beberapa sahabat yang lain tidak.
Tragedi tsunami menggurat hati fa terlampau dalam. Trauma itu tidak bisa lepas. Bekas luka di kaki Fa selalu mengingatkan, bahwa Fa pernah dipeluk erat bayang kematian. Bahwa ajal pernah terasa begitu dekat. Kalau Fa selamat, itu semata-mata karena memang belum waktunya tiba untuk Fa pergi. Kalau para korban tsunami masih bisa terhindar dari kegilaan, itu semua karena mereka yakin benar ada Maha Kuasa yang akan melindungi dan membimbing.
Di dalam musibah selalu ada hikmah. Fa mengerti itu bukan hanya sekedar semboyan tanpa arti. Allah Maha Tahu. Allah bekerja dengan cara-Nya sendiri. Kita, manusia, mungkin tidak bisa memahami. Tapi, yang harus kita lakukan hanya mensyukuri, takdir yang baik maupun yang mengguncang hati.
Di balik tsunami ini, di antara pengorbanan para syuhada ini, terselip sebuah hikmah.
Dan hikmah itu begitu nyata di depan mata.
Semoga Allah melindungi kita semua.
Amin

-Bagi syuhada yang perjalanan hidup dunianya selesai di 26 Desember 2004-